Twitter
RSS

Harapan Itu Masih Ada

0
Isi hati ini aku tulis untuk Istriku tercinta yang telah berkorban besar, dan menganugerahkan aku mutiara terindah dalam hidupku. Hari ini menurut perhitungan kalender dokter, istriku sedang mengandung anak kami di usia ke 41 minggu. Sungguh berat ingin menuliskan pengalaman ini, karena perdebatan di hati ini pun cukup hebat.

Anak kami yang pertama (Salman Rosyad Faqihuddin) sekarang berusia 21 bulan, dia lahir melalui operasi sesar. Pada saat Salman berusia satu tahun istriku mengandung anakku yang kedua. Sejak awal kehamilan, dokter telah memvonis bahwa istriku harus menjalani operasi sesar lagi, karena jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun. Kami sudah pasrah apapun yang terjadi yang penting istri dan anakku selamat. Menjelang kehamilan 3 bulan ternyata dokter kami pun sedang melahirkan, sehingga kami beralih ke dokter yang lain masih di rumah sakit yang sama. Singkat cerita di pertemuan yang kedua, kami kecewa dengan pelayanan rumah sakit, dimana ketika kami sedang menunggu dokter yang sudah siang hari tak kunjung datang, tiba-tiba ada yang menelphon rumah sakit menanyakan apakah dokter yang kami tunggu sudah datang, tapi apa jawabannya, ternyata petugas tersebut menjawab dokter yang bersangkutan sudah pulang, padahal kami menunggu dari tadi memang belum datang. Dari situ, kami beralih ke dokter di rumah sakit yang lain. Setelah dokter yang baru memeriksa istriku, dia memberi harapan bahwa istri saya bisa melahirkan normal, asalkan tidak ada kendala yang dapat menghambat melahirkan secara normal. Singkat cerita di minggu ke 40 lewat 4 hari menurut perhitungan gestasi dokter, istriku belum juga merasakan tanda-tanda kehamilan, hanya rasa mules yang sebentar dan sekali-kali hilang. Sehingga dokter menganjurkan agar istriku kapan mau dioperasi sesar, dia berkata apa lagi yang mau ditunggu, sehingga beliau memberikan kami waktu berfikir satu minggu untuk booking tempat. Namun aku belum bisa menerima itu, bukan berarti aku tak punya uang. Secara finansial aku sudah siapkan biaya untuk operasi sesar. Sehingga kami pun segera membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Orang tuaku dan kami sepakat untuk menjadwalkan sesar satu minggu lagi, mudah-mudahan dari waktu satu minggu itu muncul tanda-tanda kehamilan. Namun setelah saya coba berfikir lagi, kalaupun ada tanda-tanda kehamilan, siapa yang mau membantu persalinan istriku dengan jalan normal. Jelas sekali dari jawaban dokter, beliau mengisyaratkan tidak sanggup untuk membantu persalinan secara normal. Sehingga dari situlah awal pencarianku. Aku SMS teman-teman yang berpengalaman serta aku cari informasi di internet.
Dengan menggunakan fasilitas internet kantor, aku pun berselancar mencari informasi sekaligus solusi bagi masalah kami, baik dari situs, forum, maupun milist tentang ibu hamil. Aku banyak mendapatkan masukan baik dari forum maupun milist. Tiba-tiba aku pun mendapatkan blog ini:
http://riliarully.wordpress.com/2009/04/02/melahirkan-pertama-sesar-tetapi-kedua-normal
Blog ini berisi pengalaman seorang ibu yang hampir sama dengan apa yang sedang dialami istriku sekarang ini. Dari situlah muncul secercah harapan dan semangat untuk mencari solusi dari masalah kami.
Tiada lain aku bukan ingin mencari jawaban yang dapat memaksakan kehendakku, tetapi aku ingin mendapatkan yang terbaik untuk istri dan anakku. Karena dari referensi yang kami dapatkan, jikalau anak kedua lahir secara sesar maka anak ketiga harus sesar, dan tidak boleh melahirkan lagi setelah anak yang ketiga. Dan menurutku itu sebuah pengorbanan yang cukup mahal, mengorbankan istri sehingga tidak dapat melahirkan setelah anak ketiga (Bukan berarti aku pingin punya anak banyak ya !!!) . Karena Anugerah terbesar Allah bilamana seorang istri bisa melahirkan dan sungguh mahal apabila anugerah itu tercabut padahal masih ada kesempatan lain dan itulah fitrah seorang ibu, melahirkan secara normal. Sehingga aku tanyakan pada istriku, terserah istriku sekarang karena istriku yang menjalani, mau pilih yang mana, kedua-duanya beresiko, namun resiko mana yang ingin istriku ambil. Setelah kami berbicara sesuai usulan dari milist, kami pun coba mencari second opinin dari dokter lain yang mudah-mudahan menjawab segala masalah kami.

Kami pun mencoba mendatangi satu dokter diantara deretan nama-nama jadwal dokter di sebuah rumah sakit. Namun jawaban yang didapat pun tetap sama, harus sesar lagi, takut ach katanya. Namun sewaktu kami periksa di dokter ini, aku bertemu dengan seorang kawan lama yang akan memeriksakan istrinya pada seorang dokter yang cukup terkenal di lantai 1 poliklinik 2. Dia cukup terkenal menjadi nara sumber dan juga telah menulis banyak buku. Namun tidak terfikir sebelumnya aku akan mendatangi dokter ini. Setelah selesai administrasi rumah sakit lalu kami pun pulang. Di rumah kerabat, kerabat-kerabat pun memberi masukan yang sama agar istriku langsung disesar saja tidak usah bertanya lagi ke dokter yang lain. Tiba-tiba Hpku berbunyi, sahabatku yang menelphon. Dia memberi masukan padaku serta memberi tahu sebuah nama dokter di sebuah rumah sakit dimana istrinya dulu melahirkan, dan dia memberi tahu agar aku jangan menemuinya karena banyak sekali prediksinya yang salah. Tak diduga ternyata nama dokter yang disebutkan adalah dokter yang baru saja kami datangi, padahal aku belum menyebutkan nama dokter yang baru saja kami datangi. Perlahan-lahan muncullah kembali harapan itu. Sekali lagi aku bertanya pada istriku, sekarang terserah istriku, karena istriku yang menjalani. Aku ceritakan apa yang dikatakan sahabatku. Setelah kami berbicara lalu kami pun sepakat untuk mendatangi satu dokter terkenal yang telah aku ceritakan diatas(Referensi teman ketika bertemu di rumah sakit). Dengan diawali langkah Bismillah kami datangi dokter tersebut untuk mencari solusi yang terbaik dengan coba bertanya pada orang yang tepat untuk ditanya. Ketika kami memasuki ruangan dokter tersebut, aku sudah menduga biaya dokter ini sepertinya tidak murah, terlihat dari ruangan yang ditempel kertas tembok serta alat yang lebih canggih dari dokter-dokter sebelumnya yang kami datangi. Cukup mendetail sekali dokter ini memeriksa istriku.
Kami utarakan permasalahan kami melalui obrolan-obrolan santai dengan narasi yang secara tidak langsung mengutarakan mengapa kami ingin istriku melahirkan normal. Tadinya kami mengira cukup sudah ikhtiar kami bertanya karena beliau sudah mengatakan untuk kehamilan diatas 40 minggu dan ia pernah menjalani sesar di kehamilan yang pertama, rawan sekali untuk menjalani persalinan normal. Dokter pun berkata, di kehamilan yang kedua lah yang menentukan, karena di kelahiran yang ketiga sudah tidak boleh melahirkan normal apabila sudah mengalami dua kali sesar dan tidak boleh melahirkan lagi setelah anak yang ketiga. Namun setelah dicek lebih lanjut oleh beliau memang betul perhitungan secara manual, istriku bulat 40 minggu pada tanggal 18 Januari 2009. Namun setelah dicek menggunakan alat USG beliau, usia kehamilannya masih 37 minggu 5 hari, genap 40 minggu pada tanggal 7 Februari 2009. Dan setelah dicek pembukaannya, sudah pembukaan satu jari. Lalu beliau berkata, masih ada kesempatan 1 minggu 5 hari, ibu sehat, bayi sehat, posisi sudah bagus, air ketuban cukup bagus. Apabila ketika minum antibiotik ketuban pecah, putuslah harapan. Entah angin apa yang meniup di hati ini, ingin rasanya hati ini menangis mensyukuri anugerah Allah. Sambil pulang, aku dan istriku mengobrol. Di jalan aku pun berkata lagi, sekarang terserah istriku, karena istriku yang akan menjalani, aku siap apapun pilihan istriku, aku hanya coba membantu memberikan yang terbaik untuk istriku. Aku ajak istriku untuk berbicara dengan kerabat, namun ia menolak, ia ingin langsung ke rumah orang tuaku melihat anak pertama kami yang kami titipkan. Di rumah orang tuaku, kami berbicara dengan ibuku, ibuku memberi masukan dan dukungan, memang kadangkala perhitungan manual bisa salah, bisa saja haid yang diingat istriku bukan haid yang terakhir. Lalu ibuku mendo’akan kami, itulah yang memberiku obat dari segala lara yang kami lalui. Sekali lagi tetap aku bertanya pada istriku, terserah istriku ingin pilih yang mana, karena istriku yang menjalani, dua pilihan yang keduanya menurutku beresiko besar bagi kehidupan kami. Setelah kami berbincang lama akhirnya, kami pun memutuskan untuk mencoba melahirkan secara normal dengan persiapan operasi sesar apabila gagal lahir secara normal. Aku mengisyaratkan pada istriku agar siap fisik, mental dan segalanya. Biarkan urusan biaya menjadi urusanku, semahal apapun asal memberikan yang terbaik untuk istri dan anakku. Asalkan istriku tetap tenang. Namun memang wajar apabila sulit tenang mengalami situasi seperti ini, sehingga keesokan harinya pun istriku bimbang karena mendapat masukan dari kerabatnya. Sekali lagi aku pun bertanya pada istriku, sekarang terserah istriku, karena istriku yang menjalani ini, mau pilih yang mana, keduanya beresiko cukup besar bagi kami. Akhirnya istriku pun memutuskan untuk dapat melahirkan normal, dan aku berkata istriku jikalau memang siap baik fisik maupun mental, biarlah biaya menjadi urusanku, istriku tidak perlu memikirkannya. Yang penting istriku tenang menjalani ini semua.
Yang terakhir dari tulisan ini, inilah tulisan dari orang yang lemah dan takut untuk membicarakan sesuatu masalah dengan orang lain, yang berdo’a diberikan yang terbaik oleh Allah. Saya berharap do’a restu dan dukungan dari orang tua, keluarga, para saudara, kerabat, para sahabat dan semuanya. Agar kami dapat menjalani ini semua dengan selamat, lancar, mudah dan diridhoi Allah. Kami mohon maaf apabila kami pernah berbuat atau berkata salah pada semuanya, tiada lain karena kelemahan dan kelalaian kami, kami beristighfar untuk itu. Kami mohon maaf juga pada semuanya, apabila pilihan kami ini kurang berkenan di hati semua yang menerima kabar ini. Sekali lagi kami mohon do’a pada siapapun yang membaca tulisan ini. Semoga Allah memberikan jalan terbaik bagi setiap masalah dalam hidup kita. Jazakallohu khoiron